Infrastruktur Buruk, Minat Sekolah Warga Puncak Minim


INDEKSBERITA.COM | Bogor, Kampung Cibeulum, RT 03 RW 06, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, memiliki keindahan alam yang menarik karena letaknya berdekatan dengan Telaga Saat di perkebunan teh Ciliwung dan beriklim pegunungan.

Meski berada di bentangan daerah wisata, namun banyak anak buruh pemetik teh di tempat tersebut memilih tidak meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Abainya perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor terhadap pendidikan sangat terasa. Terbukti dengan total jumlah siswa SMP Cikoneng yang hanya dihuni 52 orang siswa. Sementara, siswa sekolah dasar yang menyatu dengan SMP tersebut berjumlah 160 orang.

“Banyak anak di tempat ini yang memilih putus sekolah. Umumnya, hanya sampai jenjang SMP. Sebab, untuk melanjutkan sekolah ke SMA, para pelajar harus menempuh jarak yang jauh,” tukas Lina (45), warga setempat kepadaindeksberita.com, Rabu (23/8/2016).

Buruknya jalan yang berbatuan, serta harus berjalan kaki ke mulut jalan berjarak sekitar 3 kilometer ke mulut jalan. Ditambah lagi, potensi lalu lintas yang kerap terjebak kemacetan menuju SMA yang dituju membuat para orangtua siswa seolah haru puas dengan lulus SMP.

“Disini (red. Desa Tugu Utara) tidak ada SMA. Kalau mau meneruskan SMA, hanya ada satu di Cisarua dan jaraknya jauh sekali. Itu pun sekolah negeri. Kalau sekolah swasta, malah lebih jauh lagi. Hal itu yang membuat banyak  orangtua tidak meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi setelah SMP,” tuturnya.

Guru SD Cikoneng, Rudi Saputra membenarkan rendahnya minat belajar warga Kampung Cibeleum, Desa Tugu Utara. Bahkan, menurutnya, tidak sedikit para orangtua yang menginginkan anaknya tidak bersekolah.

“Ada beberapa orangtua yang anaknya tidak melanjutkan sekolah lagi setelah selesai SD dan ada diantaranya yang anaknya tidak menuntaskan SD. Faktor utamanya masalah ekonomi. Pernah suatu ketika saya menemui orangtua siswa dan menanyakan kenapa anaknya putus sekolah di kelas 3 SD. Jawabannya, anaknya hanya ingin dipekerjakan sebagai pemetik teh,” tukasnya.

Lalu, bagaimana dengan sosialisasi Kartu Indonesia Pintar (KIP)? Kepada media online ini, Rudi menyampaikan, KIP saat ini tengah diproses pihak sekolah.

“Tapi, jika para orangtua tidak memiliki semangat menyekolahkan anak, adanya KIP bisa tak berarti,” tutupnya. (eko)


Post a Comment

Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif

Lebih baru Lebih lama