Masuk 'Musim Arab', Ulama Di Puncak Minta Pemkab Cegah Kawin Kontrak

MERDEKA.COM | Memasuki bulan Mei, kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor dipastikan mulai didatangi ratusan wisatawan mancanegara (wisman) asal Timur Tengah, atau biasa dikenal oleh warga Puncak sebagai 'Musim Arab'.

Di bulan Mei ini hingga Agustus biasanya para wisatawan asal Timur Tengah menghabiskan waktu liburan di kawasan berhawa sejuk ini menetap sementara di sejumlah vila dan hotel yang ada di Puncak.

Memasuki bulan Mei, kawasan puncak dipastikan bakal kebanjiran turis mancanegara. Di bulan ini, turis asal timur tengah kerap menghabiskan waktu liburan di kawasan paling selatan Kabupaten Bogor ini, hingga tiga bulan berikutnya, dan menetap di sejumlah hotel dan vila. Informasi yang dihimpun, selama liburan, mereka menghabiskan duit hingga miliaran rupiah. Fenomena lain, sebutan musim arab ini, juga disebut-sebut musim kawin kontrak.

"Turis itu datang secara bergerombol, dalam sehari bisa menghabiskan duit Rp 3-5 juta. Memang ada juga yang melakukan kawin kontrak dengan warga pribumi, tapi perempuannya berasal dari Cianjur dan Sukabumi," ungkap Suheli, penjaga vila di Desa Tugu Utara kepada Jurnal Bogor.

Dia juga menuturkan, turis Arab mayoritas menetap di daerah Warung Kaleng, Desa Tugu Utara, karena itu di wilayah ini ada perkampungan yang dikenal kampung Arab. "Selain penginapan penuh di-booking, pengusaha rental mobil juga kebagian rejeki. Karena selama berlibur, mereka menyewa mobil untuk jalan-jalan," tambahnya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kecamatan Cisarua, KH Rahmatulloh, menegaskan bahwa hukum kawin kontrak alias nikah wisata adalah haram, karena itu dirinya mengimbau kepada masyarakat agar tidak terjebak dalam fenomena tersebut.

"Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu'aqqat hukumnya haram, ulama dengan tegas melarang adanya kawin kontrak," ungkapnya.

Dia menambahkan, praktik pernikahan semacam itu biasanya terjadi tidak secara resmi, namun di bawah tangan dan umumnya dilakukan di sebuah vila berdalih himpitan ekonomi, padahal dalam hukum Islam sudah jelas diharamkan. Apalagi, faktor ekonomi bukan alasan yang mendasar, di tengah upaya pemerintah dalam meningkatkan roda perekonomian masyarakat.


"Meskipun wanita-wanita pelaku kawin kontrak berasal dari luar kota, tetap diharamkan. Yang menjadi magnet bagi turis asal timur tengah, adalah potensi alam bukan kawin kontrak. Di sini peran pemerintah sangat dibutuhkan," tandasnya.

Post a Comment

Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif

Lebih baru Lebih lama